Kamis, 20 Juni 2013

Pengembangan Energi Alternatif Tak Dapat Anggaran

JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, pemerintah tidak mengalokasikan anggaran khusus untuk pengembangan energi alternatif di masa mendatang. Sebab, anggaran tersebut sudah diserahkan ke tiap-tiap kementerian atau lembaga. "Kalau anggaran secara khusus, itu tidak ada," kata Chatib saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (18/6/2013). Menurut Chatib, untuk anggaran infrastruktur dalam pengembangan energi alternatif, pemerintah memang menyerahkan ke tiap-tiap kementerian atau lembaga. 

Untuk pengembangan energi alternatif sendiri, Chatib menilai hal tersebut merupakan wewenang dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). "Untuk alokasi anggaran infrastruktur pengembangan energi alternatif tidak ada secara spesifik di APBN Perubahan 2013. Tapi ada di belanja Kementerian atau Lembaga, khususnya di ESDM," tambahnya. 

Di tempat yang sama, Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati menambahkan, pemerintah masih menargetkan produksi (lifting) minyak bisa meningkat di tahun depan. Dalam RAPBNP 2013 yang telah disetujui, pemerintah sudah menargetkan lifting minyak 840.000 barrel minyak per hari. 

"Tapi ke depan, kami akan menargetkan lifting minyak 890.000-900.000 barrel minyak per hari hingga 1 juta barrel minyak per hari. Tapi itu tidak mudah. Itu pun kalau ada cadangan minyak yang besar," kata Anny. 

Pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah dan Kementerian ESDM telah berkoordinasi soal anggaran pengembangan energi alternatif tersebut. Namun, pengembangannya lebih ke pembangkit listrik panas bumi dan pembangkit listrik tenaga surya. 

"Untuk anggaran subsidi listrik di tahun ini saja sudah Rp 100 triliun. Kita tidak bisa memberi lebih banyak lagi (subsidinya), apalagi bila pengembangan energi terbarukan tersebut tidak bisa memberikan harga listrik lebih murah dari 7-8 sen/kwh," tambahnya. 

Selama ini, harga listrik dari PLN selalu di atas 10 sen/kwh. Oleh karena itu, bila belum ada pengembangan energi listrik terbarukan yang mampu memberikan harga lebih rendah dari itu, maka pemerintah tidak akan memberikan anggaran subsidinya. (DK)

Sabtu, 15 Juni 2013

PLTS Terbesar Eropa ada di Italia

MILAN, KOMPAS.com - Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) paling kuat di Eropa ditetapkan mulai beroperasi di Italia akhir tahun ini. Adalah perusahaan AS yang membangun instalasi di sebuah area seluas 120 lapangan sepak bola mengatakan, Kamis (11/3/2010). 
    
Pembangkit listrik di Rovigo di dekat Venice di timur laut Italia akan mengambil 850.000 meter persegi (9,15 juta kaki persegi) dan menghasilkan 72 megawatt, SunEdison mengatakan dalam sebuah pernyataan pengumuman memulai konstruksi. 
    
Saat ini pembangkit listrik terbesar di Eropa, berlokasi di Spanyol menghasilkan 60 megawatt dan terbesar kedua di Jerman 50 megawatt, kata SunEdison. 
    
"Taman fotovoltaik di Provinsi Rovigo merupakan tonggak penting dalam pembangunan dan pembentukan energi matahari di Italia," manajer umum SunEdison Italia, Francesco Liborio Nanni, mengatakan dalam sebuah pernyataan. 
    
Total investasi akan berada di antara 200 juta  hingga 250 juta euro (273 juta hingga 342 juta dollar AS), kata perusahaan itu. 
    
Produksi energi akan dimulai pada paruh kedua 2010 dan pembangkit listrik akan sepenuhnya beroperasi pada akhir tahun, kata SunEdison, yang bekerja pada proyek dalam hubungannya dengan raksasa perbankan Spanyol Santander. 
    
Selama tahun pertama operasi, pembangkit listrik akan menutupi kebutuhan listrik dari 17.000 rumah tangga dan akan mencegah emisi 41.000 ton karbon dioksida ke atmosfer. 
    
SunEdison, sebuah anak perusahaan dari perusahaan AS MEMC Electronic Materials, adalah perusahaan pembangkit listrik tenaga surya terkemuka di Amerika Serikat dan terbesar ketiga di dunia. 
    
Italia berada di urutan kedua setelah Jerman untuk produksi listrik tenaga surya di Eropa. (KM)

Pemerintah gelar tender EPC untuk PLTS bulan Juni

Kontan.co.id - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menggenjot proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di seluruh daerah. Dalam waktu dekat, pemerintah kembali menggelar tender engineering, procurement, and construction (EPC) pembangkit dengan total kapasitas sekitar 5 megawatt (MW).


Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM mengatakan, tender kontruksi bakal digelar bulan depan. "Sekarang ini, kami tengah menggelar koordinasi dengan kementerian terkait untuk memetakan wilayah mana saja yang akan kami bangun PLTS," kata dia, Senin (18/3).

Total pendanaan untuk pengembangan PLTS tidak jauh berbeda dengan alokasi anggaran tahun lalu, yakni sekitar Rp 579,6 miliar. Rida bilang, untuk pembangunan PLTS tahun ini, pihaknya akan mengutamakan pembangunan di 92 pulau terluar.

Di lain sisi, Rida mengatakan, pemerintah berharap perusahaan swasta juga mengembangkan PLTS melalui skema independent power producer (IPP). Sebab, pemerintah telah menetapkan  feed in tarif PLTS sebesar US$ 25 sen per kilowatt hour (kWh) untuk menarik minat investor. "Ini harga tertinggi penjualan listrik ke PLN," ujar dia.

Sekarang ini, pemerintah sedang menyusun wilayah mana saja yang ditawarkan ke investor untuk proyek PLTS. Menurut Rida, pemerintah akan menetapkan kuota besaran kapasitas terpasang PLTS yang dapat dibangun oleh investor swasta.

Tujuan utama menggenjot pembangunan PLTS tersebut adalah menggantikan fungsi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang masih beroperasi di daerah-daerah terpencil. Sekarang ini, porsi PLTD dalam sebaran listrik nasional masih 12,7% dan PLTS baru 0,003% dari total kapasitas listrik di Tanah Air sebesar 44.124 MW.

Seperti diketahui, tahun lalu, pemerintah telah menggelar sekitar 40 lelang konstruksi, mulai Nangroe Aceh Darussalam hingga Papua Barat. "Total kapasitas listrik yang telah dibangun tahun lalu sekitar 4,5 MW. Yang terbesar di Bangli dan Karang Asem, Bali, berkapasitas masing-masing 1 MW," ujar dia.

Berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2012, dari seluruh lelang konstruksi PLTS, 23 tender sudah ditetapkan pemenangnya. Misalnya, PT Citrakaton Dwitama ditetapkan sebagai kontraktor pembangunan PLTS terpusat di Riau dengan nilai tender Rp 14,2 miliar dan PT Surya Energi Indotama akan membangun PLTS terpusat di Papua Barat senilai Rp 22,3 miliar.

Khusus PLTS yang memiliki jaringan interkoneksi, PT Surya Energi Indotama juga ditetapkan untuk membangun PLTS senilai Rp 33,2 miliar dengan interkoneksi PLTS di Bali I. Ada juga PT Azet Surya Lestari untuk PLTS di wilayah Nusa Tenggara Barat senilai Rp 34,5 miliar.

Meskipun sebagian wilayah sudah ada pemenang tender konstruksi, namun terdapat 17 proyek yang belum ditetapkan pemenangnya. (KN)

Berikut pemenang tender EPC untuk PLTS untuk tahun 2012 :
Lokasi Nilai (Rp Miliar)Pemenang 
Jateng, DIY, Jatim19,7PT Surya Energi Indotama
DKI, Banten, Jabar14,5PT Tritama Mitra Lestari
Bengkulu11,6PT Spektrum Krisindo Elektrika
Riau 14,2PT Citrakaton Dwitama
Jambi10,1PT Tritama Mitra Lestari
Sumatera Barat12,9PT Gerbang Multindo Nusantara
Bangka Belitung12,7PT Tritama Mitra Lestari
Kalimantan Tengah 15,4PT Surya Energi Indotama
Kalimantan Barat10,2PT Indo Electric Instruments
Bali 15,2PT Indo Electric Instruments
Nusa Tenggara Barat13,3PT Indo Electric Instruments
Nusa Tenggara Timur 13,1PT Tritama Mitra Lestari
Gorontalo9,6PT Pentas Menara Komindo
Sulawesi Tengah9,4PT Citrakaton Dwidayalestari 
Sulawesi Barat 12PT Pentas Menara Komindo
Sulawesi Tenggara18,3PT Surya Energi Indotama
Maluku Utara11,2PT Hilmanindo Signintama
Maluku16,6PT Bayu Danar Mutiara
Papua Barat22,3PT Surya Energi Indotama
Papua 20PT Fokus Indo Lighting
*Bali I33,2PT Surya Energi Indotama
*Bali II33,2PT Surya Energi Indotama
*Nusa Tenggara Barat34,5PT Azet Surya Lestari

Belum ditetapkan pemenang tender EPC untuk PLTS untuk tahun 2012:
Lokasi Nilai (Rp milliar)
Aceh 13,2
Sumatera Utara 15,6
Sumatera Utara (tahap 2) 5,2
Kepulauan Riau 14,5
Bengkulu dan Babel (tahap 2) 7,4
Sumatera Barat (tahap 2) 7,2
Sumatera Selatan (tahap 2) 15
Lampung 18,4
Lampung (tahap 2) 9,6
Jabar, Jateng, dan Jatim (tahap 2)14,7
Bali, NTB, dan NTT (tahap 2)13
Kalimantan Selatan 17,9
Kalimantan Timur 12,8
Kalbar dan Kalteng (tahap 2)4,8
Sulawesi Utara  9,7
Sulawesi Selatan 9,7
SulSel dan Sul Tenggara (tahap 2)7,8

Jumat, 14 Juni 2013

PLTS 2013 Butuh Investasi Rp18,5 Triliun

neraca.co.id - Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Alihuddin Sitompul mengatakan bahwa untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kapasitas mencapai 638 megawatt (MW) maka diperlukan dana sekitar US$1,8 miliar atau mencapai Rp18,5 triliun.
Menurut ALihuddin, saat ini pemerintah yaitu Kementerian ESDM bersama dengan PT PLN (Persero) telah membuat rencana sampai dengan 2025. “Sumber pendanaan yang bisa dimanfaatkan yaitu melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di PLN, sampai dengan 2020 telah menargetkan bisa mengoperasikan pembangkit listrik surya hingga 590 MW, sementara dari KESDM dana dari APBN pada tahun ini ditargetkan bisa mengoperasikan hingga 4.420 kilowattpeak (kWp)," papar Alihuddin seperti dikutip dari situs Kementerian ESDM, Selasa (14/5).
Dia mengakui mengembangkan energi surya di Indonesia bukan perkara mudah. Terdapat banyak kendala yang dihadapi diantaranya, tingginya investasi PLTS jika dibandingkan pembangunan pembangkit berbahan bakar fosil dan kurangnya investor swasta untuk menanamkan uangnya ke proyek PLTS.
Selain itu, dalam pengembangannya diperlukan insentif untuk pengembangan energi ini, relatif rendahnya efisiensi dalam sistem. Di samping itu, teknologi surya belum diimplementasikan dalam skala industri, dibutuhkan spesifikasi variasi yang standar dalam pasar, kendala terakhir kurangnya pemahaman dan edukasi untuk pemanfaatan energi surya.
PLTS adalah suatu pembangkit listrik yang menggunakan sinar matahari melalui sel surya untuk mengkonversikan radiasi sinar foton matahari menjadi energi listrik. Pemanfaatan energi matahari untuk pembangkit listrik dapat dilakukan dengan cara PLTS tersebar bagi pemukiman yang berjauhan, dan PLTS Terpusat bagi pemukiman yang mengumpul saling berdekatan, serta PLTS yang dapat diinterkoneksikan dengan jaringan yang sudah ada atau dipadukan (hybrid system) dengan pembangkit lainnya.
Sementara itu, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana juga mengungkapkan bahwa pemerintah akan melelang proyek PLT dengan kapasitas 150 MW dengan nilai Rp19 triliun. Nantinya lelang akan mengacu pada Peraturan Menteri ESDM tentang harga jual listrik (feed-in tariff) PLTS yang dijadwalkan terbit pekan depan. "Setelah permen terbit, maka sudah bisa dimulai tendernya," katanya.
Menurut dia, proses tender yang langsung dilakukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM itu, kemungkinan memakan waktu sekitar dua bulan. Usai lelang akan dilakukan proses pembangunan yang tidak membutuhkan waktu terlalu lama yakni sekitar tiga bulan. "Bangun PLTS bisa cepat, karena tinggal pasang. Jadi, tahun ini sudah terpasang PLTS berkapasitas 150 MW yang tersebar di seluruh Indonesia," katanya.
Ia juga mengaku optimis target pembangunan PLTS 150 MW bakal tercapai karena investor lokal dan dari sejumlah negara seperti AS, Jepang, dan Afrika Selatan sudah menunggu pelaksanaan lelang yang mengacu permen "feed-in tariff" tersebut.
Selain membangun PLTS, peserta lelang juga akan menyediakan lahan dan jaringan hingga ke sistem PT PLN (Persero) terdekat. Permen ESDM"feed-in tariff" PLTS menyebutkan harga jual listrik maksimal sebesar 25 sen dolar AS per kWh.
Draf permen sudah dalam tahap sinkronisasi aturan di Biro Hukum Kementerian ESDM dan tinggal menunggu ditandatangani Menteri ESDM. Harga jual listrik maksimal PLTS sebesar 25 sen dolar per kWh tersebut berlaku di seluruh Indonesia.
Melalui proses lelang, akan terbentuk harganya di masing-masing wilayah. Harga jual listrik tenaga surya yang ditetapkan melalui lelang tersebut bersifat final dan akan langsung menjadi acuan kontrak dengan PLN, sehingga disebut mekanisme "feed-in tariff".
Penerbitan permen "feed-in tarif" tersebut merupakan terobosan agar semakin banyak investor mengembangkan tenaga surya yang tercatat memiliki potensi besar di Indonesia. Selama ini, pengembangan tenaga surya terkendala investasi tinggi, namun harga jual ke PLN yang masih rendah. Di sisi lain, PLN juga tidak berani membeli listrik dengan harga mahal, karena akan menambah beban subsidi.
Pemakaian listrik tenaga surya efektif digunakan pada wilayah-wilayah terpencil dan jauh dari jaringan kelistrikan, sehingga akan meningkatkan rasio elektrifikasi. Pada akhir 2012, rasio elektrifikasi atau penduduk yang memperoleh aliran listrik baru mencapai 75,9% dan ditargetkan meningkat menjadi 79,3% di 2013. (nn)

Cina Investasi PLTA US$ 17 Miliar - Tempo bisnis

TEMPO.COJakarta - Perusahaan energi asal Cina, China Power Investment, Corp (CPI) akan menanamkan investasi senilai US$17 miliar untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Sungai Kayan, Kalimantan Utara. Selain berinvestasi di PLTA, BUMN asal Cina ini juga berminat berinvestasi di beberapa sektor lain.

"Komitmen investasinya sekitar US$17 miliar. Mereka minta kalau bisa tahun depan sudah mulai start. Saya minta paling tidak tahun depan sudah groundbreaking," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, seusai pertemuan dengan CPI di kantornya, Senin, 27 Mei 2013.

PLTA yang akan dibangun tersebut, kata Jero, bisa membangkitkan listrik sampai 7 ribu megawatt. Tapi, pembangunan akan dilakukan bertahap selama 7 tahun. "Jadi bertahap per 700 megawatt," katanya.

Jero mengatakan CPI belum mengutarakan permintaan fasilitas insentif. Menurut dia, CPI sudah mengerti aturan investasi di Indonesia dan tidak terlalu mempermasalahkan mengenai aturan investasi.

Kementerian, kata Jero, akan meminta pada CPI agar sub-kontraktor yang menggarap proyek ini adalah perusahaan lokal. "Investasi ini juga harus creating jobs, jangan nanti mereka bawa orang dari sana," katanya.

CPI, kata Jero, menilai Indonesia adalah pasar yang potensial. Dengan jumlah kelas menengah yang saat ini mencapai 45 juta orang dan diprediksi akan mencapai 135 juta orang pada 2030, maka kebutuhan listrik di Indonesia akan terus meningkat. Pasar inilah yang menjadi alasan CPI mengalirkan investasinya ke Indonesia. Jero mengatakan listrik yang tersedia di Indonesia saat ini baru mencapai 40 ribu MW.

Selain investasi di PLTA, CPI, kata Jero, menyatakan minatnya untuk berinvestasi dalam pembangunan smelter. Perusahaan asal Cina ini juga tertarik berinvestasi di pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Jero mengatakan CPI tertarik membangun smelter bauksit serta alumunium. Tapi, CPI akan fokus terlebih dahulu pada pembangunan PLTA di Kalimantan Utara.

ANANDA TERESIA-tempo.co

China Investasi PLTS dan Smelter - INILAH.com

INILAH.COM, Jakarta - Selain membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), China juga akan melakukan investasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan pengolahan, pemurnian (smelter).

"China Power Investment (CPI) mengincar juga investasi dibidang PLTA, PLTS, dan Smelter," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik di Jakarta, Senin (27/5/2013).

Wacik menjelaskan, selama ini China telah mempelajari permasalahan Indonesia soal penghentian ekspor barang mentah minerba dengan pembangunan smelter. Karena itu, CPI merasakan ketertarikanya untuk membangun smelternya di Indonesia. Apalagi bisnis smelter akan berkembang pesat ke depannya.

Selain itu, CPI juga berencana akan mengembangkan PLTS di wilayah Indonesia timur yang memiliki rasio elektrifikasi yang rendah. Dengan demikian aksi pembangunan PLTS tersebut dapat memenuhi kebutuhan di sektor kelistrikan masyarakat Indonesia.

"CPI juga harus memberikan Corporate Social Responsibility (CSR) d imanapun mereka melakukan investasi, dan mereka juga harus membuka lapangan kerja di sini bukan membawa warganya," katanya. [hid/inilah.com]

Selasa, 04 Juni 2013

Solar Industry Anxious Over Defective Panels

By TODD WOODY



LOS ANGELES — The solar panels covering a vast warehouse roof in the sun-soaked Inland Empire region east of Los Angeles were only two years into their expected 25-year life span when they began to fail.
Coatings that protect the panels disintegrated while other defects caused two fires that took the system offline for two years, costing hundreds of thousands of dollars in lost revenues.
It was not an isolated incident. Worldwide, testing labs, developers, financiers and insurers are reporting similar problems and say the $77 billion solar industry is facing a quality crisis just as solar panels are on the verge of widespread adoption.
No one is sure how pervasive the problem is. There are no industrywide figures about defective solar panels. And when defects are discovered, confidentiality agreements often keep the manufacturer’s identity secret, making accountability in the industry all the more difficult.
But at stake are billions of dollars that have financed solar installations, from desert power plants to suburban rooftops, on the premise that solar panels will more than pay for themselves over a quarter century.
The quality concerns have emerged just after a surge in solar construction. In the United States, the Solar Energy Industries Association said that solar panel generating capacity explodedfrom 83 megawatts in 2003 to 7,266 megawatts in 2012, enough to power more than 1.2 million homes. Nearly half that capacity was installed in 2012 alone, meaning any significant problems may not become apparent for years.
“We need to face up to the fact that corners are being cut,” said Conrad Burke, general manager for DuPont’s billion-dollar photovoltaic division, which supplies materials to solar manufacturers.
The solar developer Dissigno has had significant solar panel failures at several of its projects, according to Dave Williams, chief executive of the San Francisco-based company.
“I don’t want to be alarmist, but I think quality poses a long-term threat,” he said. “The quality across the board is harder to put your finger on now as materials in modules are changing every day and manufacturers are reluctant to share that information.”
Most of the concerns over quality center on China, home to the majority of the world’s solar panel manufacturing capacity.
After incurring billions of dollars in debt to accelerate production that has sent solar panel prices plunging since 2009, Chinese solar companies are under extreme pressure to cut costs.
Chinese banks in March, for instance, forced Suntech into bankruptcy. Until 2012, the company had been the world’s biggest solar manufacturer.
Executives at companies that inspect Chinese factories on behalf of developers and financiers said that over the last 18 months they have found that even the most reputable companies are substituting cheaper, untested materials. Other brand-name manufacturers, they said, have shut down production lines and subcontracted the assembly of modules to smaller makers.
“We have inspectors in a lot of factories, and it’s not rare to see some big brands being produced in those smaller workshops where they have no control over quality,” said Thibaut Lemoine, general manager of STS Certified, a French-owned testing service. When STS evaluated 215,000 photovoltaic modules at its Shanghai laboratory in 2011 and 2012, it found the defect rate had jumped from 7.8 percent to 13 percent.
In one case, an entire batch of modules from one brand-name manufacturer listed on the New York Stock Exchange proved defective, Mr. Lemoine said. He declined to identify the manufacturer, citing confidentiality agreements.
“Based on our testing, some manufacturers are absolutely swapping in cheap Chinese materials to save money,” Jenya Meydbray, chief executive of PV Evolution Labs, a Berkeley, Calif., testing service.
SolarBuyer, a company based in Marlborough, Mass., discovered defect rates of 5.5 percent to 22 percent during audits of 50 Chinese factories over the last 18 months, said Ian Gregory, the company’s senior marketing director.
Some Chinese manufacturers acknowledge that quality has become a problem
“There are a lot of shortcuts being taken, and unfortunately it’s by some of the more reputable companies and there’s also been lot of new companies starting up in recent years without the same standards we’ve had at Suntech,” said Stuart Wenham, the chief technology officer of Suntech, which is based in Jiangsu Province in eastern China.
When asked about quality standards, Trina Solar, one of the largest Chinese manufacturers, said in an e-mailed response, “For Trina, quality will not be compromised in our cost-reduction efforts.”
The heart of a solar panel is a photovoltaic cell that generates electricity when struck by sunlight. Among the most critical components are a thin film that protects the cell from moisture, and the encapsulant that seals the cell between layers of glass.
Mr. Gregory said repeat inspections of factories found some manufacturers had been constantly switching to cheaper materials, including some whose use-by date had expired.
“If the materials aren’t good or haven’t been thoroughly tested, they won’t stick together and the solar module will eventually fall apart in the field,” he said.
That’s what happened in 2011 at a year-old Australian solar plant, Mr. Meydbray of PV Evolution said. Testing confirmed that substandard materials were causing the Chinese-made modules’ protective coating to degrade, he said. The power plant operator declined to be identified.
“I think quality is increasingly a concern, but it’s not a major issue yet,” said Rhone Resch, chief executive of the Solar Energy Industries Association, a trade group. “As companies race to cut their costs, some who are on the edge may take short cuts.”
The Energy Department’s National Renewable Energy Laboratory has studied the performance of solar panels up to 2010, according to Sarah Kurtz, a scientist who manages the laboratory’s photovoltaic reliability group.
“The question is whether things are deteriorating rapidly or whether it’s a few isolated companies not doing so well on their quality control,” she said. “I hear a lot of angst, but I haven’t seen a lot of solid information.”
All solar panels degrade and gradually generate less electricity over time. But a review of 30,000 installations in Europe by the German solar monitoring firm Meteocontrol found 80 percent were underperforming. Testing of six manufacturers’ solar panels at two Spanish power plants by Enertis Solar in 2010 found defect rates as high as 34.5 percent.
Enfinity operates solar installations in Europe and the United States. Bob Hopper, Enfinity’s chief development officer, said his company had stopped buying Chinese modules because of quality concerns. “Even a small amount of unforecasted degradation in electricity production can have significant economic impact on us,” he said.
In the Netherlands, RenĂ© Moerman, chief strategy officer of Solar Insurance and Finance, said claims had risen 15 percent recently. He said an inspection of a solar plant in Britain in March revealed that 12 percent of the newly installed Chinese-made modules had failed. He said confidentiality agreements prevented him from naming the manufacturer.
Other solar developers and installers said they had not experienced quality problems.
“The systems we installed in 2012 had the best performing year yet,” said Lyndon Rive, chief executive of SolarCity, the largest residential solar installer in the United States and a buyer of panels from China’s Yingli Solar and Trina.
Non-Chinese manufacturers have had quality problems as well. The defective panels installed on the Los Angeles area warehouse, for instance, were made by an American manufacturer. A reporter was granted access to the project on the condition that the parties’ identities not be disclosed because of a confidential legal settlement.
First Solar, one of the United States’ biggest manufacturers, has set aside $271.2 million to cover the costs of replacing defective modules it made in 2008 and 2009.
Nor are all solar developers shunning Chinese manufacturers. The United States subsidiary of Yingli, the world’s largest solar panel maker since 2012, won a contract last year to supply solar panels for a California power plant.
“The one thing I can tell you is that Yingli does not cut corners,” said Brian Grenko, vice president for operations at Yingli Americas, adding that only 15 defective modules had been returned to the company out of 2.8 million shipped to the United States since 2009.
Still, Yingli executives acknowledge that quality has become a competitive issue.
The company now offers a comprehensive insurance policy to customers and has established its own testing laboratory in the San Francisco area.
Mr. Wenham, the Suntech executive, said manufacturers needed to be held accountable and advocated creating testing labs not beholden to the industry that would assess quality.
“We need to start naming names,” he said.

(This article is copied directly from the new york times on 06.04.2013)