Kamis, 17 Oktober 2013

PLN BELI 10 MEGAWATT LISTRIK UNTUK PAPUA

Jakarta 27/9 (Jubi) – Perusahaan Listrik Negara (PLN) Pusat bakal menggunakan energi terbarukan untuk menerangi beberapa kabupaten di Bumi Cenderawasih, Papua dengan membeli 10 megawatt, dari salah satu perusahaan kayu yang ada di Sorong, Papua.

Hubungan Masyarakat (Humas) Public Relation Officer Corporate Communication PLN Pusat, Dermawan Amir Uloli menuturkan, energy baru itu akan bersumber dari kayu, batu bara, air dan sagu. Beberapa kabupaten akan menjadi percontohan energy terbarukan itu, diantaranya Kabupaten Biak Numfor, Timika,  Sorong, Wamena, Pegunungan Bintang, Merauke dan Nabire.

“Kita akan beli ekses power, atau kelebihan energy dari salah satu perusahaan kayu yang ada di Sorong. Kapasitasnya lumayan sekitar 10 megawatt. PT Perhutani itu mereka akan membangun pabrik sagu di Sorong. Disisi lain, dia membutuhkan pembangkit listrik, nah disitu PLN bangunnya disitu. Nabire itu juga ada potensi batu bara yang besar. Ada beberapa rencana di lokasi  bangun pembangkit listrik  bio massa di Biak, terus di Merauke juga ada,” kata Dermawan kepada tabloidjubi.com, Jumat (27/9).

PLN membenarkan sebagian energy terbarukan itu sudah berfungsi di beberapa kabupaten, misalnya saja di daerah Walesi, Kabupaten Wamena, lanjut Wawan sapaan akrabnya. Dalam setahun, PLN dapat menghemat pembelian BBM hingga Rp 80 miliar. dalam waktu dekat. “PLN juga akan melakukan kontrak kerjasama dengan pihak ketiga untuk kelancaran energy terbarukan tersebut,” kata dia.

Saat ini terdapat tujuh sistem kelistrikan di Provinsi Papua, yakni Jayapura, Wamena, Timika, Merauke, Nabire, Serui dan Biak. Untuk memenuhi kebutuhan listrik yang akan datang, kebijakan PLN yang tertuang dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2011-2020 adalah dengan membangun pembangkit skala kecil hingga menengah dengan kapasitas total 365 MW dengan memanfaatkan energy terbarukan. (Jubi/Indrayadi)

Rabu, 16 Oktober 2013

Japan Next-Generation Farmers Cultivate Crops and Solar Energy

 Farmers in Japan can now generate solar electricity while growing crops on the same farmland. In April, the Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries (MAFF) approved the installation of PV systems on existing crop-producing farmland. Previously solar generation on farmland, productive or idle, was prohibited under the Agricultural Land Act.

Selasa, 02 Juli 2013

PLN Beli Listrik Perusahaan Swasta

Bandung (ANTARA News) - PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten (DJBB) menandatangani perjanjian pembelian tenaga listrik sementara dengan PT Indorama Synthetic Purwakarta sebesar 13 Mega Watt (MW). 

Penandatanganan kerjasama itu dilakukan oleh General Manager PLN Distribusi Jabar dan Banten, Murtaqi Syamsudin, dan Wakil Direktur PT Indorama, Amit Lohia, di Bandung, Kamis.

Hadir pada kesempatan itu Direktur Utama PT PLN (Persero) Eddie Widiono dan Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, J Purwono. 

"Penyaluran energi dari Indorama ke sistem PLN dilakukan melalui sistem transmisi 70kV yang terhubung dengan sistem interkoneksi Jawa-Bali," kata Dirut PT PLN, Eddie Widiono. 

Indorama adalah industri serat sintetis dan tekstil yang berlokasi di Purwakarta. Perusahaan itu akan menjual tenaga listrik kepada PLN DJBB dari kelebihan kapasitas pembangkit listriknya (PLTU Batubara) dengan kapasitas sekitar 13 MW dengan harga Rp460 per kWh untuk jangka waktu enam bulan ke depan.

Namun kerjasama pembelian listrik sementara itu bisa diperpanjang tergantung dari kesepakatan antara PLN dan Indorama. 

"PLN membeli energi listrik dari Indorama sebagai bagian dari `effeciency drive program` untuk menghemat biaya produksi PLN. Bila ada swasta yang punya pembangkit dan punya kelebihan kapasitas, mari kami (PLN) beli untuk menambah ketersediaan pasokan listrik ini," kata Eddie. 

Saat ini biaya produksi (marginal cost) listrik PLN pada sistem Jawa-Bali sudah lebih dari Rp1.400 per kWh karena sebagian masih menggunakan pembangkit berbahan bakar BBM.

"Kendati hanya sebesar 13 MW, pembelian listrik dari Indorama ini akan menghemat biaya produksi PLN selama masa kontrak enam bulan sebesar Rp45 miliar," katanya. 

Manfaat lain dari pembelian tenaga listrik ini, kata dia, pada saat tertentu terkadang PLN melakukan pengurangan beban atau `brown out" saat terjadi gangguan pembangkit, pemeliharaan pembangkit atau pada saat musim kemarau yang mengakibatkan PLTA tidak bisa beroperasi penuh. 

"Tambahan kapasitas sebesar 13 MW dari Indorama ini akan sangat membantu PLN pada situasi seperti itu," katanya. 

Eddie menyebutkan, kerjasama pembelian tenaga listrik seperti itu juga dilakukan di daerah lain seperti di Sumatera Utara. 

Sementara itu General Manager PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten (DJBB), Murtaqi Syamsudin menyebutkan, PT Indorama merupakan salah satu perusahaan yang menjual tenaga listriknya ke PLN DJBB. Kerjasama serupa dilakukan PLN DJBB dengan PT Krakatau Steel dan sebuah perusahaan swasta.

"Ada beberapa perusahaan lainnya yang memiliki pembangkit dan kelebihan listrik akan bekerjasama dengan kami, namun masih tahap penjajakan," kata Murtaqi Syamsudin. 

Ia menyebutkan, jumlah pelanggan total PLN di Jabar dan Banten sebanyak 7,5 juta dimana 3.000 diantaranya pelanggan industri besar. Beban puncak sistem DJBB sebesar 4.710 MW dengan load factor 0,85. 

Sedangkan penjualan energi per bulan 2.700 juta kWh dengan pendapatan Rp1,6 triliun. 

Sementara itu Wakil Direktur Indorama, Amit Lohia, mengatakan pembangkit PLTU di Indorama dibangun pada Januari 2007 dengan kapasitas 60 MW, namun hanya 47 MW yang dipergunakan oleh perusahaan, sehingga dengan menjual ke PLN maka kelebihan kapasitas itu bisa termanfaatkan dan memberikan keuntungan bagi perusahaan.(*)

PLN Beli Listrik Perusahaan Swasta Bandung

PLN Beli Listrik Perusahaan Swasta Bandung. Penandatanganan kerjasama itu dilakukan oleh General Manager PLN Distribusi Jabar dan Banten, Murtaqi Syamsudin, dan Wakil Direktur PT Indorama, Amit Lohia, di Bandung, Kamis. PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten (DJBB) menandatangani perjanjian pembelian tenaga listrik sementara dengan PT Indorama Synthetic Purwakarta sebesar 13 Mega Watt (MW).

"Penyaluran energi dari Indorama ke sistem PLN dilakukan melalui sistem transmisi 70kV yang terhubung dengan sistem interkoneksi Jawa-Bali," kata Dirut PT PLN, Eddie Widiono. Hadir pada kesempatan itu Direktur Utama PT PLN (Persero) Eddie Widiono dan Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, J Purwono.

Indorama adalah industri serat sintetis dan tekstil yang berlokasi di Purwakarta. Perusahaan itu akan menjual tenaga listrik kepada PLN DJBB dari kelebihan kapasitas pembangkit listriknya (PLTU Batubara) dengan kapasitas sekitar 13 MW dengan harga Rp460 per kWh untuk jangka waktu enam bulan ke depan. Namun kerjasama pembelian listrik sementara itu bisa diperpanjang tergantung dari kesepakatan antara PLN dan Indorama.

"PLN membeli energi listrik dari Indorama sebagai bagian dari `effeciency drive program` untuk menghemat biaya produksi PLN. Bila ada swasta yang punya pembangkit dan punya kelebihan kapasitas, mari kami (PLN) beli untuk menambah ketersediaan pasokan listrik ini," kata Eddie. Saat ini biaya produksi (marginal cost) listrik PLN pada sistem Jawa-Bali sudah lebih dari Rp1.400 per kWh karena sebagian masih menggunakan pembangkit berbahan bakar BBM.

"Kendati hanya sebesar 13 MW, pembelian listrik dari Indorama ini akan menghemat biaya produksi PLN selama masa kontrak enam bulan sebesar Rp45 miliar," katanya. Manfaat lain dari pembelian tenaga listrik ini, kata dia, pada saat tertentu terkadang PLN melakukan pengurangan beban atau `brown out" saat terjadi gangguan pembangkit, pemeliharaan pembangkit atau pada saat musim kemarau yang mengakibatkan PLTA tidak bisa beroperasi penuh.

"Tambahan kapasitas sebesar 13 MW dari Indorama ini akan sangat membantu PLN pada situasi seperti itu," katanya. Eddie menyebutkan, kerjasama pembelian tenaga listrik seperti itu juga dilakukan di daerah lain seperti di Sumatera Utara.

Sementara itu General Manager PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten (DJBB), Murtaqi Syamsudin menyebutkan, PT Indorama merupakan salah satu perusahaan yang menjual tenaga listriknya ke PLN DJBB. Kerjasama serupa dilakukan PLN DJBB dengan PT Krakatau Steel dan sebuah perusahaan swasta. "Ada beberapa perusahaan lainnya yang memiliki pembangkit dan kelebihan listrik akan bekerjasama dengan kami, namun masih tahap penjajakan," kata Murtaqi Syamsudin.

Ia menyebutkan, jumlah pelanggan total PLN di Jabar dan Banten sebanyak 7,5 juta dimana 3.000 diantaranya pelanggan industri besar. Beban puncak sistem DJBB sebesar 4.710 MW dengan load factor 0,85. Sedangkan penjualan energi per bulan 2.700 juta kWh dengan pendapatan Rp1,6 triliun.

Sementara itu Wakil Direktur Indorama, Amit Lohia, mengatakan pembangkit PLTU di Indorama dibangun pada Januari 2007 dengan kapasitas 60 MW, namun hanya 47 MW yang dipergunakan oleh perusahaan, sehingga dengan menjual ke PLN maka kelebihan kapasitas itu bisa termanfaatkan dan memberikan keuntungan bagi perusahaan. (HR)

PLN Diwajibkan Membeli Kelebihan Tenaga Listrik

JAKARTA, KOMPAS.com - PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) diwajibkan membeli kelebihan tenaga listrik dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat. Hal ini untuk memperkuat sistem penyediaan tenaga listrik setempat.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 Tahun 2012 tentang Harga Pembelian Listrik Oleh PT PLN yang menggunakan Energi Baru Terbarukan Skala Kecil Dan Menengah Atau Kelebihan Tenaga Listrik, sebagaimana dilansir dalam situs Kementerian ESDM, Jumat (10/2/2012), di Jakarta.

Peraturan itu diharapkan dapat menata kembali pengaturan pembelian kelebihan tenaga listrik dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat oleh PLN.

Untuk pembelian kelebihan tenaga listrik, dapat lebih besar dari tenaga listrik yang dipakai sendiri dan sesuai kondisi sistem ketenagalistrikan setempat.

Harga pembelian tenaga listrik ditetapkan Rp 656 per kWh jika terinterkoneksi pada Tegangan Menengah, dan Rp 1.004 per kWh, jika terinterkoneksi pada tegangan rendah.

Pemerintah juga memberi insentif sesuai lokasi pembelian tenaga listrik oleh PT PLN. Sebagai contoh, untuk wilayah Maluku dan Papua, harga pembelian tenaga listrik ditetapkan 1,5 kali dari harga yang ditetapkan pemerintah tersebut.

Sementara harga pembelian tenaga listrik dalam kontrak jual beli tenaga listrik dari kelebihan tenaga listrik tanpa negosiasi harga dan persetujuan harga dari Menteri ESDM, Gubernur atau Bupati dan Walikota sesuai kewenangannya.

Jika terjadi kondisi krisis penyediaan tenaga listrik, PLN dapat membeli kelebihan tenaga listrik (excess power) dengan harga lebih tinggi dari harga dalam Permen ESDM No 4 Tahun 2012 ini. Perhitungan harga didasarkan pada Harga Perkiraan Sendiri PLN. (RA)

Senin, 01 Juli 2013

401 desa di Jawa-Bali Belum Dapat Listrik, Ini Alasan Bos PLN

Jakarta - Sebanyak 10.211 desa di Indonesia saat ini masih gelap gulita saat malam hari, karena listrik dari PLN belum mencakup ke desa-desa tersebut.Apa alasan PLN?

"Karena infrastrukturnya belum ada, terutama jalan, kalau ada jalan, minimal jalan besar, maka desa-desa yang belum teraliri listrik bisa dimasuki PLN," ujar Direktur Utama PLN Nur Pamudji ketika ditemui di Kantor PLN Pusat, Jakarta, Kamis (13/6/2013).

Dikatakan Nur, tidak adanya jalan besar di desa-desa tersebut, membuat PLN kesulitan untuk membangun tiang-tiang listrik. "Kalau ada jalan besar kan tiang-tiang listriknya bisa dipasang dipinggir jalan, kan tidak mungkin tiang litrik PLN harus terobos kebun orang, sawahnya orang, secara standar dan aturan juga tidak diperbolehkan," ucap Nur.

Nur menegaskan, dirinya sudah memberi perintah kepada jajaran PLN jika ada permintaan pemasangan sambungan listrik, maka langsung segera dilakukan pemasangan.

"Saya sudah perintahkan jika ada permintaan sambungan listrik terutama calon pelanggan rumah tangga maka segera dilakukan pemasangan sambungan, tapi kalau industri kita cek dulu karena harus berdasarkan kapasitas dan harga tarif yang berbeda-beda," tandasnya.

Di Indonesia saat ini masih ada 10.211 desa yang gelap gulita saat malam hari, desa-desa tersebut sampai hari ini belum mendapatkan pasokan listrik dari PLN. Jumlah itu kurang lebih 13% dari total seluruh desa di Indonesia yang mencapai 72.944 desa/kelurahan hingga akhir 2012.

"Masih ada 10.211 desa yang sampai saat ini belum teraliri listrik," kata Direktur Operasi Jawa-Bali PLN Ngurah Adyana beberapa waktu lalu.

Dari 10.211 desa yang belum dialiri listrik tersebut, sebanyak 401 desa berada di Jawa-Bali. (FD)

20% Rumah di Jawa dan Bali Belum Teraliri Listrik

Jakarta - PT PLN (Persero) mengklaim hingga saat ini telah mengaliri listrik ke hampir 80% dari total rumah di Pulau Jawa dan Bali. PLN masih menyisakan 20%, namun masih terkendala infrastruktur.

Direktur Pengadaan Strategis dan Energi Primer PT PLN Bagyo Riawan mengatakan PLN siap dan mampu untuk mengaliri listrik ke semua daerah di Indonesia, namun persoalannya adalah jalan akses dan lokasi rumah yang sulit untuk mendistribusikan listrik.

"Pengembangan kelistrikan sangat tergantung infrastruktur yang lain. Infrastruktur jalan, bukan karena PLN-nya. Yang jalannya nggak ada, kalau jalannya nggak ada ngangkut materialnya susah," kata Bagyo kepadadetikFinance, Senin (1/7/2013).

Bagyo mengatakan, perseroan terus berusaha untuk melayani semua lapisan agar teraliri listrik. Hingga saat ini, PLN baru mengaliri listrik ke hampir 80% total rumah di Jawa dan Bali. "20% lagi lah, kira-kira baru 78%," katanya.

Hal senada disampaikan oleh Direktur Utama Pembangkitan Jawa Bali (PJB) Susanto Purnomo, menurutnya PLN tidak mengalami permasalahan di hulu atau produksi listrik, namun kendala justru terjadi di hilir khususnya upaya distribusi listrik ke daerah-daerah terpencil. Perseroan menargetkan akan mengaliri listrik 100% seluruh Indonesia pada bertepatan dengan ulang tahun PLN yang ke-75 atau tahun 2021.

"Kita targetkan 100% itu ulang tahun PLN yang ke-75. Hitung saja dari tahun 1946," katanya. (DF)

Kamis, 20 Juni 2013

Pengembangan Energi Alternatif Tak Dapat Anggaran

JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, pemerintah tidak mengalokasikan anggaran khusus untuk pengembangan energi alternatif di masa mendatang. Sebab, anggaran tersebut sudah diserahkan ke tiap-tiap kementerian atau lembaga. "Kalau anggaran secara khusus, itu tidak ada," kata Chatib saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (18/6/2013). Menurut Chatib, untuk anggaran infrastruktur dalam pengembangan energi alternatif, pemerintah memang menyerahkan ke tiap-tiap kementerian atau lembaga. 

Untuk pengembangan energi alternatif sendiri, Chatib menilai hal tersebut merupakan wewenang dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). "Untuk alokasi anggaran infrastruktur pengembangan energi alternatif tidak ada secara spesifik di APBN Perubahan 2013. Tapi ada di belanja Kementerian atau Lembaga, khususnya di ESDM," tambahnya. 

Di tempat yang sama, Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati menambahkan, pemerintah masih menargetkan produksi (lifting) minyak bisa meningkat di tahun depan. Dalam RAPBNP 2013 yang telah disetujui, pemerintah sudah menargetkan lifting minyak 840.000 barrel minyak per hari. 

"Tapi ke depan, kami akan menargetkan lifting minyak 890.000-900.000 barrel minyak per hari hingga 1 juta barrel minyak per hari. Tapi itu tidak mudah. Itu pun kalau ada cadangan minyak yang besar," kata Anny. 

Pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah dan Kementerian ESDM telah berkoordinasi soal anggaran pengembangan energi alternatif tersebut. Namun, pengembangannya lebih ke pembangkit listrik panas bumi dan pembangkit listrik tenaga surya. 

"Untuk anggaran subsidi listrik di tahun ini saja sudah Rp 100 triliun. Kita tidak bisa memberi lebih banyak lagi (subsidinya), apalagi bila pengembangan energi terbarukan tersebut tidak bisa memberikan harga listrik lebih murah dari 7-8 sen/kwh," tambahnya. 

Selama ini, harga listrik dari PLN selalu di atas 10 sen/kwh. Oleh karena itu, bila belum ada pengembangan energi listrik terbarukan yang mampu memberikan harga lebih rendah dari itu, maka pemerintah tidak akan memberikan anggaran subsidinya. (DK)

Sabtu, 15 Juni 2013

PLTS Terbesar Eropa ada di Italia

MILAN, KOMPAS.com - Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) paling kuat di Eropa ditetapkan mulai beroperasi di Italia akhir tahun ini. Adalah perusahaan AS yang membangun instalasi di sebuah area seluas 120 lapangan sepak bola mengatakan, Kamis (11/3/2010). 
    
Pembangkit listrik di Rovigo di dekat Venice di timur laut Italia akan mengambil 850.000 meter persegi (9,15 juta kaki persegi) dan menghasilkan 72 megawatt, SunEdison mengatakan dalam sebuah pernyataan pengumuman memulai konstruksi. 
    
Saat ini pembangkit listrik terbesar di Eropa, berlokasi di Spanyol menghasilkan 60 megawatt dan terbesar kedua di Jerman 50 megawatt, kata SunEdison. 
    
"Taman fotovoltaik di Provinsi Rovigo merupakan tonggak penting dalam pembangunan dan pembentukan energi matahari di Italia," manajer umum SunEdison Italia, Francesco Liborio Nanni, mengatakan dalam sebuah pernyataan. 
    
Total investasi akan berada di antara 200 juta  hingga 250 juta euro (273 juta hingga 342 juta dollar AS), kata perusahaan itu. 
    
Produksi energi akan dimulai pada paruh kedua 2010 dan pembangkit listrik akan sepenuhnya beroperasi pada akhir tahun, kata SunEdison, yang bekerja pada proyek dalam hubungannya dengan raksasa perbankan Spanyol Santander. 
    
Selama tahun pertama operasi, pembangkit listrik akan menutupi kebutuhan listrik dari 17.000 rumah tangga dan akan mencegah emisi 41.000 ton karbon dioksida ke atmosfer. 
    
SunEdison, sebuah anak perusahaan dari perusahaan AS MEMC Electronic Materials, adalah perusahaan pembangkit listrik tenaga surya terkemuka di Amerika Serikat dan terbesar ketiga di dunia. 
    
Italia berada di urutan kedua setelah Jerman untuk produksi listrik tenaga surya di Eropa. (KM)

Pemerintah gelar tender EPC untuk PLTS bulan Juni

Kontan.co.id - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menggenjot proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di seluruh daerah. Dalam waktu dekat, pemerintah kembali menggelar tender engineering, procurement, and construction (EPC) pembangkit dengan total kapasitas sekitar 5 megawatt (MW).


Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM mengatakan, tender kontruksi bakal digelar bulan depan. "Sekarang ini, kami tengah menggelar koordinasi dengan kementerian terkait untuk memetakan wilayah mana saja yang akan kami bangun PLTS," kata dia, Senin (18/3).

Total pendanaan untuk pengembangan PLTS tidak jauh berbeda dengan alokasi anggaran tahun lalu, yakni sekitar Rp 579,6 miliar. Rida bilang, untuk pembangunan PLTS tahun ini, pihaknya akan mengutamakan pembangunan di 92 pulau terluar.

Di lain sisi, Rida mengatakan, pemerintah berharap perusahaan swasta juga mengembangkan PLTS melalui skema independent power producer (IPP). Sebab, pemerintah telah menetapkan  feed in tarif PLTS sebesar US$ 25 sen per kilowatt hour (kWh) untuk menarik minat investor. "Ini harga tertinggi penjualan listrik ke PLN," ujar dia.

Sekarang ini, pemerintah sedang menyusun wilayah mana saja yang ditawarkan ke investor untuk proyek PLTS. Menurut Rida, pemerintah akan menetapkan kuota besaran kapasitas terpasang PLTS yang dapat dibangun oleh investor swasta.

Tujuan utama menggenjot pembangunan PLTS tersebut adalah menggantikan fungsi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang masih beroperasi di daerah-daerah terpencil. Sekarang ini, porsi PLTD dalam sebaran listrik nasional masih 12,7% dan PLTS baru 0,003% dari total kapasitas listrik di Tanah Air sebesar 44.124 MW.

Seperti diketahui, tahun lalu, pemerintah telah menggelar sekitar 40 lelang konstruksi, mulai Nangroe Aceh Darussalam hingga Papua Barat. "Total kapasitas listrik yang telah dibangun tahun lalu sekitar 4,5 MW. Yang terbesar di Bangli dan Karang Asem, Bali, berkapasitas masing-masing 1 MW," ujar dia.

Berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2012, dari seluruh lelang konstruksi PLTS, 23 tender sudah ditetapkan pemenangnya. Misalnya, PT Citrakaton Dwitama ditetapkan sebagai kontraktor pembangunan PLTS terpusat di Riau dengan nilai tender Rp 14,2 miliar dan PT Surya Energi Indotama akan membangun PLTS terpusat di Papua Barat senilai Rp 22,3 miliar.

Khusus PLTS yang memiliki jaringan interkoneksi, PT Surya Energi Indotama juga ditetapkan untuk membangun PLTS senilai Rp 33,2 miliar dengan interkoneksi PLTS di Bali I. Ada juga PT Azet Surya Lestari untuk PLTS di wilayah Nusa Tenggara Barat senilai Rp 34,5 miliar.

Meskipun sebagian wilayah sudah ada pemenang tender konstruksi, namun terdapat 17 proyek yang belum ditetapkan pemenangnya. (KN)

Berikut pemenang tender EPC untuk PLTS untuk tahun 2012 :
Lokasi Nilai (Rp Miliar)Pemenang 
Jateng, DIY, Jatim19,7PT Surya Energi Indotama
DKI, Banten, Jabar14,5PT Tritama Mitra Lestari
Bengkulu11,6PT Spektrum Krisindo Elektrika
Riau 14,2PT Citrakaton Dwitama
Jambi10,1PT Tritama Mitra Lestari
Sumatera Barat12,9PT Gerbang Multindo Nusantara
Bangka Belitung12,7PT Tritama Mitra Lestari
Kalimantan Tengah 15,4PT Surya Energi Indotama
Kalimantan Barat10,2PT Indo Electric Instruments
Bali 15,2PT Indo Electric Instruments
Nusa Tenggara Barat13,3PT Indo Electric Instruments
Nusa Tenggara Timur 13,1PT Tritama Mitra Lestari
Gorontalo9,6PT Pentas Menara Komindo
Sulawesi Tengah9,4PT Citrakaton Dwidayalestari 
Sulawesi Barat 12PT Pentas Menara Komindo
Sulawesi Tenggara18,3PT Surya Energi Indotama
Maluku Utara11,2PT Hilmanindo Signintama
Maluku16,6PT Bayu Danar Mutiara
Papua Barat22,3PT Surya Energi Indotama
Papua 20PT Fokus Indo Lighting
*Bali I33,2PT Surya Energi Indotama
*Bali II33,2PT Surya Energi Indotama
*Nusa Tenggara Barat34,5PT Azet Surya Lestari

Belum ditetapkan pemenang tender EPC untuk PLTS untuk tahun 2012:
Lokasi Nilai (Rp milliar)
Aceh 13,2
Sumatera Utara 15,6
Sumatera Utara (tahap 2) 5,2
Kepulauan Riau 14,5
Bengkulu dan Babel (tahap 2) 7,4
Sumatera Barat (tahap 2) 7,2
Sumatera Selatan (tahap 2) 15
Lampung 18,4
Lampung (tahap 2) 9,6
Jabar, Jateng, dan Jatim (tahap 2)14,7
Bali, NTB, dan NTT (tahap 2)13
Kalimantan Selatan 17,9
Kalimantan Timur 12,8
Kalbar dan Kalteng (tahap 2)4,8
Sulawesi Utara  9,7
Sulawesi Selatan 9,7
SulSel dan Sul Tenggara (tahap 2)7,8

Jumat, 14 Juni 2013

PLTS 2013 Butuh Investasi Rp18,5 Triliun

neraca.co.id - Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Alihuddin Sitompul mengatakan bahwa untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kapasitas mencapai 638 megawatt (MW) maka diperlukan dana sekitar US$1,8 miliar atau mencapai Rp18,5 triliun.
Menurut ALihuddin, saat ini pemerintah yaitu Kementerian ESDM bersama dengan PT PLN (Persero) telah membuat rencana sampai dengan 2025. “Sumber pendanaan yang bisa dimanfaatkan yaitu melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di PLN, sampai dengan 2020 telah menargetkan bisa mengoperasikan pembangkit listrik surya hingga 590 MW, sementara dari KESDM dana dari APBN pada tahun ini ditargetkan bisa mengoperasikan hingga 4.420 kilowattpeak (kWp)," papar Alihuddin seperti dikutip dari situs Kementerian ESDM, Selasa (14/5).
Dia mengakui mengembangkan energi surya di Indonesia bukan perkara mudah. Terdapat banyak kendala yang dihadapi diantaranya, tingginya investasi PLTS jika dibandingkan pembangunan pembangkit berbahan bakar fosil dan kurangnya investor swasta untuk menanamkan uangnya ke proyek PLTS.
Selain itu, dalam pengembangannya diperlukan insentif untuk pengembangan energi ini, relatif rendahnya efisiensi dalam sistem. Di samping itu, teknologi surya belum diimplementasikan dalam skala industri, dibutuhkan spesifikasi variasi yang standar dalam pasar, kendala terakhir kurangnya pemahaman dan edukasi untuk pemanfaatan energi surya.
PLTS adalah suatu pembangkit listrik yang menggunakan sinar matahari melalui sel surya untuk mengkonversikan radiasi sinar foton matahari menjadi energi listrik. Pemanfaatan energi matahari untuk pembangkit listrik dapat dilakukan dengan cara PLTS tersebar bagi pemukiman yang berjauhan, dan PLTS Terpusat bagi pemukiman yang mengumpul saling berdekatan, serta PLTS yang dapat diinterkoneksikan dengan jaringan yang sudah ada atau dipadukan (hybrid system) dengan pembangkit lainnya.
Sementara itu, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana juga mengungkapkan bahwa pemerintah akan melelang proyek PLT dengan kapasitas 150 MW dengan nilai Rp19 triliun. Nantinya lelang akan mengacu pada Peraturan Menteri ESDM tentang harga jual listrik (feed-in tariff) PLTS yang dijadwalkan terbit pekan depan. "Setelah permen terbit, maka sudah bisa dimulai tendernya," katanya.
Menurut dia, proses tender yang langsung dilakukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM itu, kemungkinan memakan waktu sekitar dua bulan. Usai lelang akan dilakukan proses pembangunan yang tidak membutuhkan waktu terlalu lama yakni sekitar tiga bulan. "Bangun PLTS bisa cepat, karena tinggal pasang. Jadi, tahun ini sudah terpasang PLTS berkapasitas 150 MW yang tersebar di seluruh Indonesia," katanya.
Ia juga mengaku optimis target pembangunan PLTS 150 MW bakal tercapai karena investor lokal dan dari sejumlah negara seperti AS, Jepang, dan Afrika Selatan sudah menunggu pelaksanaan lelang yang mengacu permen "feed-in tariff" tersebut.
Selain membangun PLTS, peserta lelang juga akan menyediakan lahan dan jaringan hingga ke sistem PT PLN (Persero) terdekat. Permen ESDM"feed-in tariff" PLTS menyebutkan harga jual listrik maksimal sebesar 25 sen dolar AS per kWh.
Draf permen sudah dalam tahap sinkronisasi aturan di Biro Hukum Kementerian ESDM dan tinggal menunggu ditandatangani Menteri ESDM. Harga jual listrik maksimal PLTS sebesar 25 sen dolar per kWh tersebut berlaku di seluruh Indonesia.
Melalui proses lelang, akan terbentuk harganya di masing-masing wilayah. Harga jual listrik tenaga surya yang ditetapkan melalui lelang tersebut bersifat final dan akan langsung menjadi acuan kontrak dengan PLN, sehingga disebut mekanisme "feed-in tariff".
Penerbitan permen "feed-in tarif" tersebut merupakan terobosan agar semakin banyak investor mengembangkan tenaga surya yang tercatat memiliki potensi besar di Indonesia. Selama ini, pengembangan tenaga surya terkendala investasi tinggi, namun harga jual ke PLN yang masih rendah. Di sisi lain, PLN juga tidak berani membeli listrik dengan harga mahal, karena akan menambah beban subsidi.
Pemakaian listrik tenaga surya efektif digunakan pada wilayah-wilayah terpencil dan jauh dari jaringan kelistrikan, sehingga akan meningkatkan rasio elektrifikasi. Pada akhir 2012, rasio elektrifikasi atau penduduk yang memperoleh aliran listrik baru mencapai 75,9% dan ditargetkan meningkat menjadi 79,3% di 2013. (nn)

Cina Investasi PLTA US$ 17 Miliar - Tempo bisnis

TEMPO.COJakarta - Perusahaan energi asal Cina, China Power Investment, Corp (CPI) akan menanamkan investasi senilai US$17 miliar untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Sungai Kayan, Kalimantan Utara. Selain berinvestasi di PLTA, BUMN asal Cina ini juga berminat berinvestasi di beberapa sektor lain.

"Komitmen investasinya sekitar US$17 miliar. Mereka minta kalau bisa tahun depan sudah mulai start. Saya minta paling tidak tahun depan sudah groundbreaking," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, seusai pertemuan dengan CPI di kantornya, Senin, 27 Mei 2013.

PLTA yang akan dibangun tersebut, kata Jero, bisa membangkitkan listrik sampai 7 ribu megawatt. Tapi, pembangunan akan dilakukan bertahap selama 7 tahun. "Jadi bertahap per 700 megawatt," katanya.

Jero mengatakan CPI belum mengutarakan permintaan fasilitas insentif. Menurut dia, CPI sudah mengerti aturan investasi di Indonesia dan tidak terlalu mempermasalahkan mengenai aturan investasi.

Kementerian, kata Jero, akan meminta pada CPI agar sub-kontraktor yang menggarap proyek ini adalah perusahaan lokal. "Investasi ini juga harus creating jobs, jangan nanti mereka bawa orang dari sana," katanya.

CPI, kata Jero, menilai Indonesia adalah pasar yang potensial. Dengan jumlah kelas menengah yang saat ini mencapai 45 juta orang dan diprediksi akan mencapai 135 juta orang pada 2030, maka kebutuhan listrik di Indonesia akan terus meningkat. Pasar inilah yang menjadi alasan CPI mengalirkan investasinya ke Indonesia. Jero mengatakan listrik yang tersedia di Indonesia saat ini baru mencapai 40 ribu MW.

Selain investasi di PLTA, CPI, kata Jero, menyatakan minatnya untuk berinvestasi dalam pembangunan smelter. Perusahaan asal Cina ini juga tertarik berinvestasi di pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Jero mengatakan CPI tertarik membangun smelter bauksit serta alumunium. Tapi, CPI akan fokus terlebih dahulu pada pembangunan PLTA di Kalimantan Utara.

ANANDA TERESIA-tempo.co

China Investasi PLTS dan Smelter - INILAH.com

INILAH.COM, Jakarta - Selain membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), China juga akan melakukan investasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan pengolahan, pemurnian (smelter).

"China Power Investment (CPI) mengincar juga investasi dibidang PLTA, PLTS, dan Smelter," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik di Jakarta, Senin (27/5/2013).

Wacik menjelaskan, selama ini China telah mempelajari permasalahan Indonesia soal penghentian ekspor barang mentah minerba dengan pembangunan smelter. Karena itu, CPI merasakan ketertarikanya untuk membangun smelternya di Indonesia. Apalagi bisnis smelter akan berkembang pesat ke depannya.

Selain itu, CPI juga berencana akan mengembangkan PLTS di wilayah Indonesia timur yang memiliki rasio elektrifikasi yang rendah. Dengan demikian aksi pembangunan PLTS tersebut dapat memenuhi kebutuhan di sektor kelistrikan masyarakat Indonesia.

"CPI juga harus memberikan Corporate Social Responsibility (CSR) d imanapun mereka melakukan investasi, dan mereka juga harus membuka lapangan kerja di sini bukan membawa warganya," katanya. [hid/inilah.com]

Selasa, 04 Juni 2013

Solar Industry Anxious Over Defective Panels

By TODD WOODY



LOS ANGELES — The solar panels covering a vast warehouse roof in the sun-soaked Inland Empire region east of Los Angeles were only two years into their expected 25-year life span when they began to fail.
Coatings that protect the panels disintegrated while other defects caused two fires that took the system offline for two years, costing hundreds of thousands of dollars in lost revenues.
It was not an isolated incident. Worldwide, testing labs, developers, financiers and insurers are reporting similar problems and say the $77 billion solar industry is facing a quality crisis just as solar panels are on the verge of widespread adoption.
No one is sure how pervasive the problem is. There are no industrywide figures about defective solar panels. And when defects are discovered, confidentiality agreements often keep the manufacturer’s identity secret, making accountability in the industry all the more difficult.
But at stake are billions of dollars that have financed solar installations, from desert power plants to suburban rooftops, on the premise that solar panels will more than pay for themselves over a quarter century.
The quality concerns have emerged just after a surge in solar construction. In the United States, the Solar Energy Industries Association said that solar panel generating capacity explodedfrom 83 megawatts in 2003 to 7,266 megawatts in 2012, enough to power more than 1.2 million homes. Nearly half that capacity was installed in 2012 alone, meaning any significant problems may not become apparent for years.
“We need to face up to the fact that corners are being cut,” said Conrad Burke, general manager for DuPont’s billion-dollar photovoltaic division, which supplies materials to solar manufacturers.
The solar developer Dissigno has had significant solar panel failures at several of its projects, according to Dave Williams, chief executive of the San Francisco-based company.
“I don’t want to be alarmist, but I think quality poses a long-term threat,” he said. “The quality across the board is harder to put your finger on now as materials in modules are changing every day and manufacturers are reluctant to share that information.”
Most of the concerns over quality center on China, home to the majority of the world’s solar panel manufacturing capacity.
After incurring billions of dollars in debt to accelerate production that has sent solar panel prices plunging since 2009, Chinese solar companies are under extreme pressure to cut costs.
Chinese banks in March, for instance, forced Suntech into bankruptcy. Until 2012, the company had been the world’s biggest solar manufacturer.
Executives at companies that inspect Chinese factories on behalf of developers and financiers said that over the last 18 months they have found that even the most reputable companies are substituting cheaper, untested materials. Other brand-name manufacturers, they said, have shut down production lines and subcontracted the assembly of modules to smaller makers.
“We have inspectors in a lot of factories, and it’s not rare to see some big brands being produced in those smaller workshops where they have no control over quality,” said Thibaut Lemoine, general manager of STS Certified, a French-owned testing service. When STS evaluated 215,000 photovoltaic modules at its Shanghai laboratory in 2011 and 2012, it found the defect rate had jumped from 7.8 percent to 13 percent.
In one case, an entire batch of modules from one brand-name manufacturer listed on the New York Stock Exchange proved defective, Mr. Lemoine said. He declined to identify the manufacturer, citing confidentiality agreements.
“Based on our testing, some manufacturers are absolutely swapping in cheap Chinese materials to save money,” Jenya Meydbray, chief executive of PV Evolution Labs, a Berkeley, Calif., testing service.
SolarBuyer, a company based in Marlborough, Mass., discovered defect rates of 5.5 percent to 22 percent during audits of 50 Chinese factories over the last 18 months, said Ian Gregory, the company’s senior marketing director.
Some Chinese manufacturers acknowledge that quality has become a problem
“There are a lot of shortcuts being taken, and unfortunately it’s by some of the more reputable companies and there’s also been lot of new companies starting up in recent years without the same standards we’ve had at Suntech,” said Stuart Wenham, the chief technology officer of Suntech, which is based in Jiangsu Province in eastern China.
When asked about quality standards, Trina Solar, one of the largest Chinese manufacturers, said in an e-mailed response, “For Trina, quality will not be compromised in our cost-reduction efforts.”
The heart of a solar panel is a photovoltaic cell that generates electricity when struck by sunlight. Among the most critical components are a thin film that protects the cell from moisture, and the encapsulant that seals the cell between layers of glass.
Mr. Gregory said repeat inspections of factories found some manufacturers had been constantly switching to cheaper materials, including some whose use-by date had expired.
“If the materials aren’t good or haven’t been thoroughly tested, they won’t stick together and the solar module will eventually fall apart in the field,” he said.
That’s what happened in 2011 at a year-old Australian solar plant, Mr. Meydbray of PV Evolution said. Testing confirmed that substandard materials were causing the Chinese-made modules’ protective coating to degrade, he said. The power plant operator declined to be identified.
“I think quality is increasingly a concern, but it’s not a major issue yet,” said Rhone Resch, chief executive of the Solar Energy Industries Association, a trade group. “As companies race to cut their costs, some who are on the edge may take short cuts.”
The Energy Department’s National Renewable Energy Laboratory has studied the performance of solar panels up to 2010, according to Sarah Kurtz, a scientist who manages the laboratory’s photovoltaic reliability group.
“The question is whether things are deteriorating rapidly or whether it’s a few isolated companies not doing so well on their quality control,” she said. “I hear a lot of angst, but I haven’t seen a lot of solid information.”
All solar panels degrade and gradually generate less electricity over time. But a review of 30,000 installations in Europe by the German solar monitoring firm Meteocontrol found 80 percent were underperforming. Testing of six manufacturers’ solar panels at two Spanish power plants by Enertis Solar in 2010 found defect rates as high as 34.5 percent.
Enfinity operates solar installations in Europe and the United States. Bob Hopper, Enfinity’s chief development officer, said his company had stopped buying Chinese modules because of quality concerns. “Even a small amount of unforecasted degradation in electricity production can have significant economic impact on us,” he said.
In the Netherlands, RenĂ© Moerman, chief strategy officer of Solar Insurance and Finance, said claims had risen 15 percent recently. He said an inspection of a solar plant in Britain in March revealed that 12 percent of the newly installed Chinese-made modules had failed. He said confidentiality agreements prevented him from naming the manufacturer.
Other solar developers and installers said they had not experienced quality problems.
“The systems we installed in 2012 had the best performing year yet,” said Lyndon Rive, chief executive of SolarCity, the largest residential solar installer in the United States and a buyer of panels from China’s Yingli Solar and Trina.
Non-Chinese manufacturers have had quality problems as well. The defective panels installed on the Los Angeles area warehouse, for instance, were made by an American manufacturer. A reporter was granted access to the project on the condition that the parties’ identities not be disclosed because of a confidential legal settlement.
First Solar, one of the United States’ biggest manufacturers, has set aside $271.2 million to cover the costs of replacing defective modules it made in 2008 and 2009.
Nor are all solar developers shunning Chinese manufacturers. The United States subsidiary of Yingli, the world’s largest solar panel maker since 2012, won a contract last year to supply solar panels for a California power plant.
“The one thing I can tell you is that Yingli does not cut corners,” said Brian Grenko, vice president for operations at Yingli Americas, adding that only 15 defective modules had been returned to the company out of 2.8 million shipped to the United States since 2009.
Still, Yingli executives acknowledge that quality has become a competitive issue.
The company now offers a comprehensive insurance policy to customers and has established its own testing laboratory in the San Francisco area.
Mr. Wenham, the Suntech executive, said manufacturers needed to be held accountable and advocated creating testing labs not beholden to the industry that would assess quality.
“We need to start naming names,” he said.

(This article is copied directly from the new york times on 06.04.2013)

Kamis, 14 Maret 2013

Graphene Sebagai Pengganti Silicon Untuk Panel Surya


Para peneliti telah menunjukkan bahwa graphene sangat efisien dalam menghasilkan elektron untuk menyerap cahaya. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahan ini dapat digunakan untuk membuat sel surya yang lebih efisien.

Bahan konvensional yang mengubah cahaya menjadi listrik, seperti arsenide silikon dan galium, menghasilkan elektron tunggal untuk menyerap setiap foton. Sekarang, penelitian baru mengungkapkan bahwa ketika graphene menyerap foton, bahan ini akan dapat menghasilkan beberapa elektron. Ini berarti bahwa graphene dapat mengkonversi cahaya menjadi listrik lebih efisien daripada bahan konvensional yang digunakan saat ini.

Graphene sebagai alternatif sel surya
Penelitian yang dilakukan para ahli telah menunjukkan bahwa graphene memiliki potensi yang luar biasa. Peneliti di Hitachi Cambridge Laboratory, menunjukkan bahwa beberapa waktu kedepan, penggunaan Graphene akan melingkupi banyak produk-produk yang dapat menghasilkan energi alternatif.

Graphene bisa dianggap sebagai kandidat untuk digunakan pada generasi ketiga sel surya. Istilah generasi ketiga ini mengacu pada pengembangan teknologi yang akan mengatasi batasan-batasan fisik sel surya konvensional, sehingga mampu mencapai efisiensi yang jauh lebih tinggi. Sel silikon saat ini memiliki batasan efisiensi sekitar 30 persen, namun sel surya terbuat dari graphene mungkin memiliki batasan lebih dari 60 persen.


Selasa, 12 Maret 2013

Efek fotovoltaik: Edmond Becquerel

Lahir di Paris, Edmond Becquerel (1820-1891), seorang ahli fisika Perancis pada tahun 1839, dikenal karena studinya dalam magnet listrik, spektrum matahari, dan optik. 

Ia terkenal untuk penemuan dan mengungkap prinsip kunci untuk sel energi surya, efek fotovoltaik. Ia menerima gelar doktor dari Universitas Paris, dan akhirnya menerima posisi profesor di Institut agronomi dari Versailles. 

Dia tertarik pada pendar dan luminescence, khususnya reaksi kimia yang disebabkan oleh eksploitasi zat tertentu terhadap cahaya. Pada Tahun 1840an ia menemukan bahwa reaksi ini bisa menghasilkan arus listrik di kedua cairan dan logam. Hubungan antara energi cahaya dan energi kimia dimanfaatkan oleh banyak ilmuwan di tahun-tahun berikutnya dan penelitian telah menyebabkan perkembangan sel fotovoltaik. 

Efek fotovoltaik adalah proses fisik dasar dimana sel fotovoltaik mengubah sinar matahari menjadi listrik. Sinar matahari terdiri dari foton yang terdapat dalam energi surya. Foton ini mengandung jumlah energi yang berbeda, sesuai dengan panjang gelombang dari spektrum matahari. 

Ketika foton tertangkap oleh luasan panel surya, maka foton yang mengenai sel fotovoltaik dapat diserap, sedangkan yang tidak, hanya menembus luasan panel surya. Foton yang diserap itulah yang dapat menghasilkan listrik. (David)