neraca.co.id - Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Alihuddin Sitompul mengatakan bahwa untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kapasitas mencapai 638 megawatt (MW) maka diperlukan dana sekitar US$1,8 miliar atau mencapai Rp18,5 triliun.
Menurut ALihuddin, saat ini pemerintah yaitu Kementerian ESDM bersama dengan PT PLN (Persero) telah membuat rencana sampai dengan 2025. “Sumber pendanaan yang bisa dimanfaatkan yaitu melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di PLN, sampai dengan 2020 telah menargetkan bisa mengoperasikan pembangkit listrik surya hingga 590 MW, sementara dari KESDM dana dari APBN pada tahun ini ditargetkan bisa mengoperasikan hingga 4.420 kilowattpeak (kWp)," papar Alihuddin seperti dikutip dari situs Kementerian ESDM, Selasa (14/5).
Dia mengakui mengembangkan energi surya di Indonesia bukan perkara mudah. Terdapat banyak kendala yang dihadapi diantaranya, tingginya investasi PLTS jika dibandingkan pembangunan pembangkit berbahan bakar fosil dan kurangnya investor swasta untuk menanamkan uangnya ke proyek PLTS.
Selain itu, dalam pengembangannya diperlukan insentif untuk pengembangan energi ini, relatif rendahnya efisiensi dalam sistem. Di samping itu, teknologi surya belum diimplementasikan dalam skala industri, dibutuhkan spesifikasi variasi yang standar dalam pasar, kendala terakhir kurangnya pemahaman dan edukasi untuk pemanfaatan energi surya.
PLTS adalah suatu pembangkit listrik yang menggunakan sinar matahari melalui sel surya untuk mengkonversikan radiasi sinar foton matahari menjadi energi listrik. Pemanfaatan energi matahari untuk pembangkit listrik dapat dilakukan dengan cara PLTS tersebar bagi pemukiman yang berjauhan, dan PLTS Terpusat bagi pemukiman yang mengumpul saling berdekatan, serta PLTS yang dapat diinterkoneksikan dengan jaringan yang sudah ada atau dipadukan (hybrid system) dengan pembangkit lainnya.
Sementara itu, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana juga mengungkapkan bahwa pemerintah akan melelang proyek PLT dengan kapasitas 150 MW dengan nilai Rp19 triliun. Nantinya lelang akan mengacu pada Peraturan Menteri ESDM tentang harga jual listrik (feed-in tariff) PLTS yang dijadwalkan terbit pekan depan. "Setelah permen terbit, maka sudah bisa dimulai tendernya," katanya.
Menurut dia, proses tender yang langsung dilakukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM itu, kemungkinan memakan waktu sekitar dua bulan. Usai lelang akan dilakukan proses pembangunan yang tidak membutuhkan waktu terlalu lama yakni sekitar tiga bulan. "Bangun PLTS bisa cepat, karena tinggal pasang. Jadi, tahun ini sudah terpasang PLTS berkapasitas 150 MW yang tersebar di seluruh Indonesia," katanya.
Ia juga mengaku optimis target pembangunan PLTS 150 MW bakal tercapai karena investor lokal dan dari sejumlah negara seperti AS, Jepang, dan Afrika Selatan sudah menunggu pelaksanaan lelang yang mengacu permen "feed-in tariff" tersebut.
Selain membangun PLTS, peserta lelang juga akan menyediakan lahan dan jaringan hingga ke sistem PT PLN (Persero) terdekat. Permen ESDM"feed-in tariff" PLTS menyebutkan harga jual listrik maksimal sebesar 25 sen dolar AS per kWh.
Draf permen sudah dalam tahap sinkronisasi aturan di Biro Hukum Kementerian ESDM dan tinggal menunggu ditandatangani Menteri ESDM. Harga jual listrik maksimal PLTS sebesar 25 sen dolar per kWh tersebut berlaku di seluruh Indonesia.
Melalui proses lelang, akan terbentuk harganya di masing-masing wilayah. Harga jual listrik tenaga surya yang ditetapkan melalui lelang tersebut bersifat final dan akan langsung menjadi acuan kontrak dengan PLN, sehingga disebut mekanisme "feed-in tariff".
Penerbitan permen "feed-in tarif" tersebut merupakan terobosan agar semakin banyak investor mengembangkan tenaga surya yang tercatat memiliki potensi besar di Indonesia. Selama ini, pengembangan tenaga surya terkendala investasi tinggi, namun harga jual ke PLN yang masih rendah. Di sisi lain, PLN juga tidak berani membeli listrik dengan harga mahal, karena akan menambah beban subsidi.
Pemakaian listrik tenaga surya efektif digunakan pada wilayah-wilayah terpencil dan jauh dari jaringan kelistrikan, sehingga akan meningkatkan rasio elektrifikasi. Pada akhir 2012, rasio elektrifikasi atau penduduk yang memperoleh aliran listrik baru mencapai 75,9% dan ditargetkan meningkat menjadi 79,3% di 2013. (nn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar